Putusan MK VS Monopoli Partai


PADANG LAWAS
- Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora terhadap UU Pilkada dapat membuka ruang untuk menghidupkan kembali pintu demokrasi yang sebelumnya terjadi monopoli partai oleh pemilik modal.

Keputusan ini sebagai bagian dalam mewujudkan demokrasi yang baik untuk mengakomodir semua suara rakyat pengguna hak pilih pada pemilu yang lalu, demikian disampaikan Amran Pulungan (Ampul) Direktur Eksekutif Lembaga pemerhati pembaharuan Indonesia (LP2I) usai pasca putusan MK, Senin (20/8/24) kemarin, melalui konferensi persnya.

Menurut Ampul, atas putusan MK dapat membuka ruang bagi partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD.

Putusan terhadap perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora itu dibacakan dalam sidang di gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (20/8/2024). Dalam pertimbangannya, MK menyatakan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada inkonstitusional.

Keputusan MK ini juga, kata Ampul, menjadi putusan yang baik, mengingat sebelumnya sudah dinyatakan MK dalam putusannya pada UU Pilkada mengatakan esensi pasal tersebut sama dengan penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU 32/2004 yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK sebelumnya. 

Sementara MK mengatakan pembentuk UU malah memasukkan lagi norma yang telah dinyatakan inkonstitusional dalam pasal UU Pilkada. Ini yg kita khawatirkan ada indikasi mau memonopoli partai oleh pembuat UU Pilkada no 10 tahun 2016. 

Kita bersyukur bahwa putusan ini menjadikan satu wujud keadilan masih dapat lagi di jadikan pedoman.

"Kita melihat isi pasal yang dijadikan putusan Inkonstitusional begini isinya. 

"Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Amran yang sering dipanggil Ampul menegaskan, 

"Jika dibiarkan berlakunya norma Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 secara terus menerus dapat mengancam proses demokrasi yang sehat,".

"Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 telah kehilangan pijakan dan tidak ada relevansinya untuk dipertahankan, sehingga harus pula dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945."

Artinya, dengan putusan ini dapat membuka ruang untuk kembali mencalonkan diri kepada balon kepala daerah yang memiliki elektabilitas tinggi sesuai putusan MK tersebut  antara lain :

A.  Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% di provinsi tersebut.

B.  Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2 juta jiwa sampai 6 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% di provinsi tersebut

C. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6 juta jiwa sampai 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% di provinsi tersebut

D.  Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% di provinsi tersebut

Sementara untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota, demikian kata Ampul. 

(ASWIN)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama