Tambang Emas Ilegal Beroperasi Bebas di Lahan KKPA Jake


KUANSING SINGINGI  —
Ironis hukum dan lemahnya penegakan aturan kembali terpampang jelas lahan kebun KKPA Desa Jake, Kecamatan Kuantan Tengah. Dua unit mesin rakik dompeng sebelumNya satu alat berat ekskavator dengan bebas beroperasi melakukan aktivitas penambangan emas ilegal di lahan Koperasi Kredit Primer Anggota (KKPA) Unit pribadi Desa Jake, tanpa hambatan sedikit pun dari aparat penegak hukum (APH).

Aktivitas ilegal mengunakan ekskavator terpantau berlangsung dua hari berturut-turut mengunakan alat berat . Proses diawali dengan pengupasan lahan menggunakan ekskavator merek Komatsu berwarna kuning. Setelah terbuka, dua mesin dompeng langsung menyedot material mengandung pasir, batu, dan diduga butiran emas  semua ini dilakukan secara terang-terangan di belakang barak KKPA, hanya selemparan batu dari barak unit Jake. 

Mirisnya, aktivitas ini berjalan seolah telah "disahkan diam-diam". Tidak ada upaya penertiban. Tidak ada garis polisi. Tidak ada tindakan. Yang ada hanyalah kebebasan brutal menjarah kekayaan alam, sementara hukum seolah diparkir.

Pelanggaran Berat terhadap Undang-Undang

Kegiatan ini jelas merupakan pelanggaran terhadap:

Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang menyatakan:

"Setiap orang yang melakukan usaha pertambangan tanpa izin (IUP) dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar."

Pasal 69 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup:

"Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup."

Namun, hukum ini hanya hidup di atas kertas. Di lapangan, kekuasaan alat berat lebih nyaring dari suara hukum. Tidak hanya merusak lingkungan, aktivitas ini juga berpotensi mencemari aliran sungai, merusak ekosistem, dan memicu konflik sosial di kemudian hari.

Salah satu anggota KKPA Unit pribadi Jake menyatakan keprihatinannya. “Kami sangat menyayangkan. Ini lahan koperasi yang seharusnya untuk kesejahteraan anggota. Tapi sekarang malah jadi lokasi tambang liar. Kami akan segera lapor ke KUD Lengeng dan aparat, meskipun kami tahu ini bukan hal yang baru.”

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa praktik PETI di wilayah ini bukanlah kejadian insidental, melainkan gejala dari sistem yang cacat antara ketidakhadiran negara dan kemungkinan keterlibatan oknum.

Masyarakat butuh bukti bahwa hukum masih punya taji di negeri ini. Penegakan hukum tidak boleh selektif. Pembiaran terhadap tambang ilegal bukan hanya bentuk pelanggaran administrasi, tapi pengkhianatan terhadap konstitusi, terhadap rakyat, dan terhadap lingkungan.

Jika aparat penegak hukum terus bungkam dan membiarkan mesin rakik dompeng bekerja lebih keras daripada moral mereka, maka kita semua harus bertanya: siapa sebenarnya yang berkuasa di negeri ini? Hukum, atau dompeng?

(Zul) 

Editor : Feri Windria

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama